Berada di tanah rantau bukan hanya
tentang menempuh pendidikan, tetapi juga tentang menemukan tempat di mana kita
merasa diterima. Jauh dari keluarga dan kampung halaman, perantauan sering kali
menghadirkan kesunyian yang hanya bisa diobati dengan kebersamaan. Di tengah
hiruk-pikuk kehidupan akademik di IPB, saya beruntung menemukan sebuah rumah
kedua yang hangat—Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah (Himpast)
Bogor.
Di sinilah saya dan teman-teman
perantau dari Sulawesi Tengah berbagi kisah, bercanda, dan saling menguatkan
dalam perjalanan studi. Lebih dari sekadar organisasi, Himpast adalah tempat di
mana kami bisa tetap terhubung dengan akar budaya, membangun solidaritas, serta
menemukan keluarga baru di tanah rantau. Kebersamaan ini tidak hanya tumbuh
dalam diskusi dan acara formal, tetapi juga dalam momen-momen sederhana yang
mengingatkan kami pada kampung halaman.
Dari makan bersama dengan hidangan
khas Sulawesi Tengah hingga kegiatan budaya dan sosial, setiap pertemuan selalu
membawa suasana yang akrab dan penuh makna. Himpast bukan sekadar organisasi,
tetapi juga bagian dari perjalanan hidup yang memberi warna pada masa studi
kami. Ada begitu banyak kisah yang terjalin di sana, dan setiap kenangan yang
tercipta akan selalu tersimpan dalam ingatan.
Guyub,
Rukun, dan Aroma Dapur Kampung Halaman
Siapa bilang tinggal jauh dari
rumah berarti harus melupakan budaya dan kebiasaan lama? Di Himpast, kami
justru semakin dekat dengan akar budaya Sulawesi Tengah. Salah satu tradisi
yang paling saya rindukan adalah makan bersama, sebuah kebiasaan yang
tak hanya mengisi perut, tetapi juga menghangatkan hati.
Bayangkan suasana ini: sebuah
ruangan penuh canda tawa, aroma sayur kelor mengepul dari panci besar,
di sebelahnya ada nasi jagung dan rono, makanan berbahan dasar sagu yang
mengingatkan kami pada kampung halaman. Saat hidangan utama tiba—kaledo (sup
tulang khas Palu) dan uta dada (ayam bumbu kuning yang gurih)—semua
orang berkumpul, tak sabar untuk menyantap hidangan favorit mereka. Dan setelah
kenyang, obrolan berlanjut sambil menikmati pepeda, kue tetu, dan
tentu saja, segelas pisang ijo yang dingin dan manis.
Momen ini bukan sekadar tentang
makanan, tetapi tentang kebersamaan. Di tanah rantau, tidak ada yang lebih
berharga daripada menemukan orang-orang yang bisa diajak berbagi, baik cerita,
impian, maupun sepiring kaledo hangat.
SULTENG EXPO 2015: Panggung Kebanggaan Mahasiswa Perantau
Salah satu pengalaman paling berkesan bersama Himpast adalah ketika kami terlibat dalam SULTENG EXPO 2015: Pakanasika Sulawesi Tengah, sebuah acara yang mengangkat tema "Potensi Melimpah, Satu Tak Tertandingi." Ini bukan sekadar pameran, tetapi juga ajang untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Sulawesi Tengah memiliki kekayaan budaya dan sumber daya luar biasa.
Dalam expo ini, kami tidak hanya
menjadi peserta, tetapi juga duta budaya. Kami menampilkan musik dan tarian
tradisional, menggelar diskusi tentang pembangunan kampung halaman,
dan tentu saja, memperkenalkan kuliner khas daerah kepada pengunjung. Di tengah
riuhnya acara, ada rasa bangga melihat budaya kita dihargai dan dikenali oleh
orang-orang dari berbagai latar belakang.
Bagi kami, SULTENG EXPO bukan
sekadar ajang pameran, tetapi juga jembatan penghubung antara masa lalu dan
masa depan. Kami belajar bahwa meskipun berada jauh dari kampung halaman,
kami tetap bisa berkontribusi untuk daerah, bahkan dari tanah rantau.
Ramadhan
Berbagi: Indahnya Kebersamaan dalam Kesederhanaan
Bulan Ramadhan selalu menjadi momen
spesial bagi mahasiswa perantau. Saat sebagian besar dari kami tidak bisa
berbuka puasa bersama keluarga di rumah, Himpast hadir sebagai pengganti.
Setiap tahun, kami mengadakan Ramadhan Berbagi, sebuah kegiatan
sederhana namun penuh makna.
Kami mengumpulkan donasi,
menyiapkan paket berbuka, dan membagikannya kepada mereka yang membutuhkan.
Tetapi yang paling berkesan bukan sekadar berbagi makanan, melainkan momen
berbuka bersama di antara kami. Saat adzan Maghrib berkumandang, kami duduk melingkar,
menikmati es pisang ijo, lalu menyantap makanan khas yang membuat kami
serasa pulang ke rumah.
Kegiatan ini mengajarkan kami bahwa
kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak yang kita punya, tetapi seberapa
banyak yang bisa kita bagikan. Dan di setiap suapan, ada doa, ada harapan, dan
ada rasa syukur karena masih bisa menikmati kebersamaan di tanah rantau.
Rindu
yang Tak Pernah Usai
Kini, setelah perjalanan di IPB
selesai, ada satu hal yang tak bisa dihindari: rindu. Rindu pada
kebersamaan, pada obrolan panjang hingga larut malam, pada tawa yang
menghangatkan, dan tentu saja, pada momen-momen makan bersama yang selalu
mengingatkan kami pada rumah.
Himpast Bogor bukan hanya sekadar
organisasi mahasiswa. Ia adalah rumah kedua, tempat di mana kami tumbuh,
berbagi, dan bermimpi. Ia adalah tempat di mana persahabatan dibangun, di mana
Sulawesi Tengah tetap hidup dalam hati kami, meskipun kami berada jauh dari
tanah kelahiran.
Bagi siapapun yang pernah menjadi
bagian dari Himpast, pasti akan mengerti perasaan ini. Bahwa sejauh apapun
langkah kita setelah ini, ada satu bagian dari hati yang selalu tertinggal di
sana—di antara hujan Bogor dan hangatnya kebersamaan yang tak tergantikan.
Terima
kasih, Himpast Bogor. Rumah kedua yang selalu dirindukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar