Rabu, 19 Februari 2025

Merajut Kenangan di Himpast Bogor: Rumah Kedua di Tanah Rantau


Berada di tanah rantau bukan hanya tentang menempuh pendidikan, tetapi juga tentang menemukan tempat di mana kita merasa diterima. Jauh dari keluarga dan kampung halaman, perantauan sering kali menghadirkan kesunyian yang hanya bisa diobati dengan kebersamaan. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan akademik di IPB, saya beruntung menemukan sebuah rumah kedua yang hangat—Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah (Himpast) Bogor.

Di sinilah saya dan teman-teman perantau dari Sulawesi Tengah berbagi kisah, bercanda, dan saling menguatkan dalam perjalanan studi. Lebih dari sekadar organisasi, Himpast adalah tempat di mana kami bisa tetap terhubung dengan akar budaya, membangun solidaritas, serta menemukan keluarga baru di tanah rantau. Kebersamaan ini tidak hanya tumbuh dalam diskusi dan acara formal, tetapi juga dalam momen-momen sederhana yang mengingatkan kami pada kampung halaman.

Dari makan bersama dengan hidangan khas Sulawesi Tengah hingga kegiatan budaya dan sosial, setiap pertemuan selalu membawa suasana yang akrab dan penuh makna. Himpast bukan sekadar organisasi, tetapi juga bagian dari perjalanan hidup yang memberi warna pada masa studi kami. Ada begitu banyak kisah yang terjalin di sana, dan setiap kenangan yang tercipta akan selalu tersimpan dalam ingatan.

Guyub, Rukun, dan Aroma Dapur Kampung Halaman

Siapa bilang tinggal jauh dari rumah berarti harus melupakan budaya dan kebiasaan lama? Di Himpast, kami justru semakin dekat dengan akar budaya Sulawesi Tengah. Salah satu tradisi yang paling saya rindukan adalah makan bersama, sebuah kebiasaan yang tak hanya mengisi perut, tetapi juga menghangatkan hati.

Bayangkan suasana ini: sebuah ruangan penuh canda tawa, aroma sayur kelor mengepul dari panci besar, di sebelahnya ada nasi jagung dan rono, makanan berbahan dasar sagu yang mengingatkan kami pada kampung halaman. Saat hidangan utama tiba—kaledo (sup tulang khas Palu) dan uta dada (ayam bumbu kuning yang gurih)—semua orang berkumpul, tak sabar untuk menyantap hidangan favorit mereka. Dan setelah kenyang, obrolan berlanjut sambil menikmati pepeda, kue tetu, dan tentu saja, segelas pisang ijo yang dingin dan manis.

Momen ini bukan sekadar tentang makanan, tetapi tentang kebersamaan. Di tanah rantau, tidak ada yang lebih berharga daripada menemukan orang-orang yang bisa diajak berbagi, baik cerita, impian, maupun sepiring kaledo hangat.

SULTENG EXPO 2015: Panggung Kebanggaan Mahasiswa Perantau


Salah satu pengalaman paling berkesan bersama Himpast adalah ketika kami terlibat dalam SULTENG EXPO 2015: Pakanasika Sulawesi Tengah, sebuah acara yang mengangkat tema "Potensi Melimpah, Satu Tak Tertandingi." Ini bukan sekadar pameran, tetapi juga ajang untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Sulawesi Tengah memiliki kekayaan budaya dan sumber daya luar biasa.

Dalam expo ini, kami tidak hanya menjadi peserta, tetapi juga duta budaya. Kami menampilkan musik dan tarian tradisional, menggelar diskusi tentang pembangunan kampung halaman, dan tentu saja, memperkenalkan kuliner khas daerah kepada pengunjung. Di tengah riuhnya acara, ada rasa bangga melihat budaya kita dihargai dan dikenali oleh orang-orang dari berbagai latar belakang.

Bagi kami, SULTENG EXPO bukan sekadar ajang pameran, tetapi juga jembatan penghubung antara masa lalu dan masa depan. Kami belajar bahwa meskipun berada jauh dari kampung halaman, kami tetap bisa berkontribusi untuk daerah, bahkan dari tanah rantau.

Ramadhan Berbagi: Indahnya Kebersamaan dalam Kesederhanaan

Bulan Ramadhan selalu menjadi momen spesial bagi mahasiswa perantau. Saat sebagian besar dari kami tidak bisa berbuka puasa bersama keluarga di rumah, Himpast hadir sebagai pengganti. Setiap tahun, kami mengadakan Ramadhan Berbagi, sebuah kegiatan sederhana namun penuh makna.

Kami mengumpulkan donasi, menyiapkan paket berbuka, dan membagikannya kepada mereka yang membutuhkan. Tetapi yang paling berkesan bukan sekadar berbagi makanan, melainkan momen berbuka bersama di antara kami. Saat adzan Maghrib berkumandang, kami duduk melingkar, menikmati es pisang ijo, lalu menyantap makanan khas yang membuat kami serasa pulang ke rumah.

Kegiatan ini mengajarkan kami bahwa kebahagiaan bukan tentang seberapa banyak yang kita punya, tetapi seberapa banyak yang bisa kita bagikan. Dan di setiap suapan, ada doa, ada harapan, dan ada rasa syukur karena masih bisa menikmati kebersamaan di tanah rantau.

Rindu yang Tak Pernah Usai

Kini, setelah perjalanan di IPB selesai, ada satu hal yang tak bisa dihindari: rindu. Rindu pada kebersamaan, pada obrolan panjang hingga larut malam, pada tawa yang menghangatkan, dan tentu saja, pada momen-momen makan bersama yang selalu mengingatkan kami pada rumah.

Himpast Bogor bukan hanya sekadar organisasi mahasiswa. Ia adalah rumah kedua, tempat di mana kami tumbuh, berbagi, dan bermimpi. Ia adalah tempat di mana persahabatan dibangun, di mana Sulawesi Tengah tetap hidup dalam hati kami, meskipun kami berada jauh dari tanah kelahiran.

Bagi siapapun yang pernah menjadi bagian dari Himpast, pasti akan mengerti perasaan ini. Bahwa sejauh apapun langkah kita setelah ini, ada satu bagian dari hati yang selalu tertinggal di sana—di antara hujan Bogor dan hangatnya kebersamaan yang tak tergantikan.

Terima kasih, Himpast Bogor. Rumah kedua yang selalu dirindukan.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Pandemi Jadi Momentum: Menyatukan Ilmu, Budaya, dan Spiritualitas Lewat Webinar

  Pandemi COVID-19 datang tanpa aba-aba. Mengubah wajah dunia dalam waktu singkat. Membatasi ruang gerak manusia, membekukan banyak aktivita...