“Ketika tak ada jalan yang terbuka, mungkin Allah sedang memintaku untuk menengadah, bukan melangkah.”
π
Awal Perjalanan: Ketika Semua Terasa Sudah
Diperjuangkan
Hidup adalah perjalanan panjang
antara harapan dan kenyataan. Sejak lulus S2, aku mencoba menapaki
langkah-langkah hidup dengan arah yang kupikir pasti: menjadi dosen tetap,
mendapatkan NIDN, punya penghasilan tetap, menikah, dan membangun keluarga.
Semua kurancang rapi dengan harapan dan perencanaan matang. Tapi realitasnya
tak selalu berjalan seiring keinginan.
Aku telah mencoba hampir semua
peluang yang mungkin. Seleksi CPNS, rekrutmen dosen BLU di berbagai kampus,
seleksi LPDP untuk S3, bahkan mendaftar di Bawaslu dan KPU. Tak hanya sekali,
tapi berkali-kali. Setiap proses kuikuti dengan serius, niat baik, dan
persiapan maksimal. Namun, pada akhirnya, satu per satu tertutup. Ada yang
gagal sebelum ujian, ada yang tak lulus wawancara, ada pula yang tidak kunjung
ditanggapi. Rasanya seperti berlari di tempat.
Di balik perjuangan itu, ada
perasaan yang terus mengendap: bingung, lelah, dan sesekali hampir menyerah.
Apalagi aku bukan lagi seorang lajang. Aku adalah suami dan ayah dari dua anak.
Ada tanggung jawab nyata yang harus kupenuhi, bukan sekadar ambisi pribadi.
Kadang, saat malam tiba, aku termenung dalam diam. Semua usaha seolah tak
cukup. Semua jalur yang dulunya terang, kini mendung dan samar.
Tapi justru di titik paling gelap
itulah aku menyadari satu hal penting: ini bukan tentang gagal atau tidak
gagal, tapi tentang apa yang sedang Allah ajarkan padaku. Bahwa mungkin, ini
bukan jalan yang salah melainkan jalan yang sedang disusun oleh Tuhan dalam
kurikulum-Nya yang tak tertulis, namun sangat nyata dalam batin. Kurikulum
Ilahiah yang merancang bukan hanya arah karier, tapi juga kualitas jiwa.
π Titik Balik: Ketika Semua Usaha Tak Lagi
Cukup
Ada satu momen hening, saat malam
tiba dan semua sudah tidur. Aku duduk sendiri, menatap langit-langit kamar
kontrakan, lalu berbisik dalam hati:
“Ya Allah, aku sudah mencoba
segalanya, tapi tak satu pun berhasil. Jika ini bukan jalanku, tunjukkan
jalan-Mu.”
Kalimat itu sederhana, tapi penuh
perasaan. Itulah titik baliknya, saat aku benar-benar menyadari bahwa usaha
manusia ada batasnya, dan selebihnya adalah wilayah kekuasaan Tuhan. Aku tidak
menyerah. Tapi untuk pertama kalinya, aku memilih untuk benar-benar berserah.
Dalam proses itulah aku mulai
memahami bahwa Allah sedang mengajarkan sesuatu yang lebih besar daripada
sekadar kesuksesan duniawi. Aku mulai mengenal konsep Kurikulum Ilahiah proses
pendidikan spiritual langsung dari Allah SWT yang dirancang untuk membentuk
keutuhan diri, bukan hanya karier atau pencapaian.
π Kurikulum Ilahiah: Dididik Langsung oleh
Allah
Perjalanan hidupku bukan hanya
tentang bekerja dan gagal, tapi tentang dibentuk dan dibimbing oleh tangan
Ilahi. Ketika aku mengalami anxiety saat menyusun tesis S2, Allah ingin aku
melihat ke dalam diriku, bukan hanya mengejar target akademik.
Ketika aku melangkah pergi dari rumah ibu angkat dalam keheningan, Allah menuntunku kembali pada pelukan ibu kandung dan akar keluarga yang selama ini terasa jauh. Itu bukan pelarian, tapi sebuah perjalanan pulang pada asal, pada cinta yang hakiki. Ketika aku mengalami penolakan demi penolakan dalam pekerjaan, Allah sedang melatihku untuk bersabar, menurunkan ego, dan mempercayai waktu-Nya.
Ketika aku shalat tahajud dan
memohon kesembuhan, Allah menunjukkan bahwa penyembuhan sejati datang dari hati
yang pasrah, bukan hanya dari terapi luar. Inilah madrasah kehidupan. Tidak ada
jadwal kuliah. Tidak ada dosen pengajar. Tapi ada Allah sebagai guru utama, dan
pengalaman sebagai buku pelajaran.
π± Menerima dan Menemukan Kedamaian
Dulu, aku pikir kebahagiaan
datang dari pekerjaan tetap dan penghasilan besar. Tapi kini, aku belajar
bahwa:
Tenang adalah rezeki.
Keluarga adalah tempat pulang yang
paling aman.
Dan iman adalah cahaya di tengah
ketidakpastian.
Aku tetap melamar pekerjaan, tetap
berikhtiar. Tapi tidak lagi dengan kegelisahan. Aku tidak lagi mengukur nilai
diriku dari seberapa tinggi posisi atau seberapa besar penghasilan. Aku mulai
melihat hidup dari sudut pandang yang lebih utuh dan spiritual.
Bersama anak dan istri, meski hidup
dengan sederhana, aku merasakan keberkahan. Di rumah orang tua yang sudah
pensiun, aku belajar tentang cinta yang tidak menuntut. Dan ketika aku berpuasa
Senin-Kamis, berzikir, dan menulis catatan harian, aku menemukan diriku yang
selama ini hilang.
π Penutup: Berserah, Bukan Menyerah
“Tugas kita adalah berusaha
sekuat tenaga. Tapi hasilnya adalah hak prerogatif Allah. Maka berserahlah,
bukan menyerah.”
Kini, aku tidak ingin lagi
mengeluhkan jalan hidupku. Karena siapa tahu di balik semua ini Allah sedang
mempersiapkan jalan yang belum pernah dilihat siapapun. Jalan yang hanya bisa
ditempuh oleh mereka yang hatinya telah siap, sabarnya telah teruji, dan
imannya sudah dalam.
Jika hari ini aku belum menjadi
dosen tetap, aku percaya Allah sedang mendidikku lebih lama agar aku menjadi
guru yang lebih bijak. Jika hari ini aku belum mendapatkan penghasilan besar,
mungkin karena Allah ingin aku belajar hidup dalam cukup dan syukur. Jika aku
belum lulus beasiswa LPDP, mungkin Allah ingin aku lebih dekat dengan
keluargaku dulu.
Aku tidak tahu persis ke mana jalan
ini akan berakhir. Tapi aku yakin: jalan ini benar. Karena aku tidak lagi
berjalan sendiri. Aku berjalan bersama Allah.
✍️ Catatan
Penutup
Jika kamu juga sedang berada
di titik yang sama merasa semua telah diperjuangkan namun belum membuahkan
hasil, tenanglah. Mungkin kamu bukan sedang gagal. Mungkin kamu sedang dididik
langsung oleh Tuhanmu.
Karena hidup bukan tentang siapa
yang sampai lebih dulu. Tapi tentang siapa yang paling utuh ketika sampai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar