Selasa, 24 Juni 2025

Ketika Semua Telah Diperjuangkan: Berserah Diri dalam Kurikulum Ilahiah

 


“Ketika tak ada jalan yang terbuka, mungkin Allah sedang memintaku untuk menengadah, bukan melangkah.”


πŸŒ… Awal Perjalanan: Ketika Semua Terasa Sudah Diperjuangkan

Hidup adalah perjalanan panjang antara harapan dan kenyataan. Sejak lulus S2, aku mencoba menapaki langkah-langkah hidup dengan arah yang kupikir pasti: menjadi dosen tetap, mendapatkan NIDN, punya penghasilan tetap, menikah, dan membangun keluarga. Semua kurancang rapi dengan harapan dan perencanaan matang. Tapi realitasnya tak selalu berjalan seiring keinginan.

Aku telah mencoba hampir semua peluang yang mungkin. Seleksi CPNS, rekrutmen dosen BLU di berbagai kampus, seleksi LPDP untuk S3, bahkan mendaftar di Bawaslu dan KPU. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Setiap proses kuikuti dengan serius, niat baik, dan persiapan maksimal. Namun, pada akhirnya, satu per satu tertutup. Ada yang gagal sebelum ujian, ada yang tak lulus wawancara, ada pula yang tidak kunjung ditanggapi. Rasanya seperti berlari di tempat.

Di balik perjuangan itu, ada perasaan yang terus mengendap: bingung, lelah, dan sesekali hampir menyerah. Apalagi aku bukan lagi seorang lajang. Aku adalah suami dan ayah dari dua anak. Ada tanggung jawab nyata yang harus kupenuhi, bukan sekadar ambisi pribadi. Kadang, saat malam tiba, aku termenung dalam diam. Semua usaha seolah tak cukup. Semua jalur yang dulunya terang, kini mendung dan samar.

Tapi justru di titik paling gelap itulah aku menyadari satu hal penting: ini bukan tentang gagal atau tidak gagal, tapi tentang apa yang sedang Allah ajarkan padaku. Bahwa mungkin, ini bukan jalan yang salah melainkan jalan yang sedang disusun oleh Tuhan dalam kurikulum-Nya yang tak tertulis, namun sangat nyata dalam batin. Kurikulum Ilahiah yang merancang bukan hanya arah karier, tapi juga kualitas jiwa.

πŸ›‘ Titik Balik: Ketika Semua Usaha Tak Lagi Cukup

Ada satu momen hening, saat malam tiba dan semua sudah tidur. Aku duduk sendiri, menatap langit-langit kamar kontrakan, lalu berbisik dalam hati:

“Ya Allah, aku sudah mencoba segalanya, tapi tak satu pun berhasil. Jika ini bukan jalanku, tunjukkan jalan-Mu.”

Kalimat itu sederhana, tapi penuh perasaan. Itulah titik baliknya, saat aku benar-benar menyadari bahwa usaha manusia ada batasnya, dan selebihnya adalah wilayah kekuasaan Tuhan. Aku tidak menyerah. Tapi untuk pertama kalinya, aku memilih untuk benar-benar berserah.

Dalam proses itulah aku mulai memahami bahwa Allah sedang mengajarkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kesuksesan duniawi. Aku mulai mengenal konsep Kurikulum Ilahiah proses pendidikan spiritual langsung dari Allah SWT yang dirancang untuk membentuk keutuhan diri, bukan hanya karier atau pencapaian.

πŸ“– Kurikulum Ilahiah: Dididik Langsung oleh Allah

Perjalanan hidupku bukan hanya tentang bekerja dan gagal, tapi tentang dibentuk dan dibimbing oleh tangan Ilahi. Ketika aku mengalami anxiety saat menyusun tesis S2, Allah ingin aku melihat ke dalam diriku, bukan hanya mengejar target akademik.

Ketika aku melangkah pergi dari rumah ibu angkat dalam keheningan, Allah menuntunku kembali pada pelukan ibu kandung dan akar keluarga yang selama ini terasa jauh. Itu bukan pelarian, tapi sebuah perjalanan pulang pada asal, pada cinta yang hakiki. Ketika aku mengalami penolakan demi penolakan dalam pekerjaan, Allah sedang melatihku untuk bersabar, menurunkan ego, dan mempercayai waktu-Nya.

Ketika aku shalat tahajud dan memohon kesembuhan, Allah menunjukkan bahwa penyembuhan sejati datang dari hati yang pasrah, bukan hanya dari terapi luar. Inilah madrasah kehidupan. Tidak ada jadwal kuliah. Tidak ada dosen pengajar. Tapi ada Allah sebagai guru utama, dan pengalaman sebagai buku pelajaran.

🌱 Menerima dan Menemukan Kedamaian

 Dulu, aku pikir kebahagiaan datang dari pekerjaan tetap dan penghasilan besar. Tapi kini, aku belajar bahwa:

Tenang adalah rezeki.

Keluarga adalah tempat pulang yang paling aman.

Dan iman adalah cahaya di tengah ketidakpastian.

Aku tetap melamar pekerjaan, tetap berikhtiar. Tapi tidak lagi dengan kegelisahan. Aku tidak lagi mengukur nilai diriku dari seberapa tinggi posisi atau seberapa besar penghasilan. Aku mulai melihat hidup dari sudut pandang yang lebih utuh dan spiritual.

Bersama anak dan istri, meski hidup dengan sederhana, aku merasakan keberkahan. Di rumah orang tua yang sudah pensiun, aku belajar tentang cinta yang tidak menuntut. Dan ketika aku berpuasa Senin-Kamis, berzikir, dan menulis catatan harian, aku menemukan diriku yang selama ini hilang.

πŸ’­ Penutup: Berserah, Bukan Menyerah

 “Tugas kita adalah berusaha sekuat tenaga. Tapi hasilnya adalah hak prerogatif Allah. Maka berserahlah, bukan menyerah.”

Kini, aku tidak ingin lagi mengeluhkan jalan hidupku. Karena siapa tahu di balik semua ini Allah sedang mempersiapkan jalan yang belum pernah dilihat siapapun. Jalan yang hanya bisa ditempuh oleh mereka yang hatinya telah siap, sabarnya telah teruji, dan imannya sudah dalam.

Jika hari ini aku belum menjadi dosen tetap, aku percaya Allah sedang mendidikku lebih lama agar aku menjadi guru yang lebih bijak. Jika hari ini aku belum mendapatkan penghasilan besar, mungkin karena Allah ingin aku belajar hidup dalam cukup dan syukur. Jika aku belum lulus beasiswa LPDP, mungkin Allah ingin aku lebih dekat dengan keluargaku dulu.

Aku tidak tahu persis ke mana jalan ini akan berakhir. Tapi aku yakin: jalan ini benar. Karena aku tidak lagi berjalan sendiri. Aku berjalan bersama Allah.

✍️ Catatan Penutup

 Jika kamu juga sedang berada di titik yang sama merasa semua telah diperjuangkan namun belum membuahkan hasil, tenanglah. Mungkin kamu bukan sedang gagal. Mungkin kamu sedang dididik langsung oleh Tuhanmu.

Karena hidup bukan tentang siapa yang sampai lebih dulu. Tapi tentang siapa yang paling utuh ketika sampai.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemilu 2029 Terpisah, Bukan Serentak: Solusi untuk Demokrasi yang Lebih Sehat

  Tahun 2029 akan menjadi momen penting bagi sistem demokrasi di Indonesia. Pemilu yang selama ini dilakukan secara serentak di mana rakyat ...