Bayangkan sejenak masa-masa di bangku sekolah. Di antara tumpukan buku dan tugas yang menumpuk, ada satu mata pelajaran yang sering kali menjadi momok bagi sebagian siswa: Pendidikan Agama Islam. Nilai agama rendah? Itu bisa jadi masalah besar.
Bagi banyak siswa SMAN 1 Tolitoli
pada masanya, solusi cepatnya adalah mengikuti Leadership Basic Training (LBT)
yang diselenggarakan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII). Awalnya, banyak yang
ikut hanya karena takut nilai agama mereka turun drastis, bahkan ada yang
khawatir mendapat angka merah. Tapi siapa sangka, di balik keterpaksaan itu,
mereka menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga—sebuah pengalaman yang
mengubah cara pandang mereka tentang Islam, kepemimpinan, dan kehidupan.
Namun, keberadaan PII di Tolitoli
tidak muncul begitu saja. Ada sosok-sosok yang berjuang di belakang layar,
memastikan bahwa organisasi ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang
menjadi wadah bagi pelajar Muslim untuk menempa diri. Tiga nama yang tidak bisa
dilepaskan dari sejarah PII Tolitoli adalah almarhumah Ibu Aiman Yunus, Drs.
Colla Gauk, dan Yunus Hamid.
Ibu
Aiman Yunus: Ketegasan yang Mengubah Hidup
Siapa yang tidak mengenal Ibu Aiman
Yunus? Bagi siswa SMAN 1 Tolitoli di masanya, beliau bukan sekadar guru agama,
tetapi juga seorang pembimbing spiritual dan motivator sejati. Ketegasannya
sering membuat siswa merasa gentar, tetapi di balik itu, beliau adalah sosok
yang penuh kasih sayang dan peduli terhadap perkembangan siswanya.
“Kalau kamu tidak ikut kegiatan
agama, bagaimana mau lulus dengan nilai baik?” kalimat ini mungkin sering
terdengar dari beliau. Bukan sekadar ancaman, tetapi sebuah dorongan agar siswa
tidak hanya melihat agama sebagai mata pelajaran, melainkan sebagai pedoman
hidup.
Ketika banyak siswa merasa LBT
hanyalah kewajiban tambahan, beliau dengan sabar membimbing mereka melewati
proses itu. Dan hasilnya? Setelah mengikuti LBT, banyak siswa yang merasa lebih
percaya diri, lebih berani berbicara di depan umum, dan lebih memahami
bagaimana Islam bukan hanya sekadar teori di kelas, tetapi harus dihidupkan
dalam keseharian mereka.
Kini, Ibu Aiman Yunus telah
berpulang, tetapi semangat dan nilai-nilai yang beliau tanamkan tetap hidup
dalam diri para siswa yang pernah dibimbingnya. Namanya mungkin tidak lagi
disebut dalam keseharian, tetapi pengaruhnya akan selalu terasa bagi mereka
yang pernah merasakan ketegasan dan kasih sayangnya.
Drs.
Colla Gauk: Kepala Sekolah yang Berpikir Jauh ke Depan
Tidak semua kepala sekolah memiliki
keberanian untuk mendukung organisasi Islam di sekolahnya, tetapi Drs. Colla
Gauk adalah pengecualian. Sebagai kepala sekolah SMAN 1 Tolitoli saat itu,
beliau melihat PII bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk
membentuk karakter siswa menjadi lebih baik.
Beliau memahami bahwa sekolah tidak
hanya tentang akademik, tetapi juga tentang membangun generasi muda yang siap
menghadapi tantangan hidup. Oleh karena itu, ketika ada inisiatif untuk
mengembangkan PII di SMAN 1 Tolitoli, beliau dengan tangan terbuka memberikan
dukungan penuh.
Berkat dukungannya, banyak siswa
yang akhirnya mengenal PII dan mendapatkan manfaat dari berbagai programnya.
LBT, diskusi keislaman, hingga kegiatan sosial yang melibatkan siswa dalam
membantu masyarakat, semua itu menjadi bagian dari pembentukan karakter yang
beliau dukung.
Dalam diam, beliau telah mencetak
banyak pemimpin masa depan. Banyak alumni PII dari SMAN 1 Tolitoli yang kini
berkiprah di berbagai bidang, dari dunia akademik, pemerintahan, hingga
wirausaha. Semua itu berawal dari sebuah keputusan sederhana: memberikan ruang
bagi organisasi kepemudaan untuk berkembang.
Yunus
Hamid: Sang Pembina yang Tak Pernah Lelah
Di luar lingkungan sekolah, PII di
Tolitoli juga memiliki seorang sosok yang selalu berusaha menjaga
keberlanjutannya: Yunus Hamid. Sebagai Ketua Keluarga Besar PII Tolitoli,
beliau bukan hanya seorang pembina, tetapi juga mentor yang tak pernah lelah mendampingi
generasi muda.
Jika ada tantangan dalam
menjalankan organisasi, beliau adalah orang pertama yang hadir dengan solusi.
Jika ada kader yang ragu dalam melangkah, beliau adalah orang pertama yang
memberikan dorongan. Bagi banyak anggota PII, Yunus Hamid bukan hanya seorang
pembina, tetapi juga seorang ayah yang selalu siap membimbing mereka dalam
menemukan arah hidupnya.
Komitmen beliau terhadap PII
bukanlah sesuatu yang muncul sesaat, tetapi sebuah dedikasi jangka panjang yang
terus memberikan dampak hingga saat ini. Berkat beliau, regenerasi di PII
Tolitoli terus berjalan, dan semangat kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai
Islam tetap hidup dalam diri para kader muda.
Jejak
Mereka, Warisan yang Tak Tergantikan
Hari ini, PII Tolitoli terus
berkembang, melahirkan pemimpin-pemimpin muda yang siap menghadapi masa depan
dengan bekal nilai Islam dan keterampilan kepemimpinan. Semua ini tidak lepas
dari peran para pendidik yang telah lebih dulu menanamkan benih kebaikan.
Bagi generasi muda yang kini berada
di PII, kisah ini bukan sekadar sejarah, tetapi sebuah panggilan untuk
meneruskan perjuangan. Apa yang telah dilakukan oleh Ibu Aiman Yunus, Drs.
Colla Gauk, dan Yunus Hamid bukan hanya untuk generasi mereka, tetapi juga
untuk kita semua yang masih memiliki kesempatan untuk melanjutkan apa yang
telah mereka mulai.
Jadi,
apa yang bisa kita lakukan sekarang?
Mungkin kita tidak bisa kembali ke
masa lalu untuk mengucapkan terima kasih secara langsung kepada mereka. Tetapi
kita bisa memastikan bahwa warisan mereka tetap hidup. Kita bisa menjadi guru
yang menginspirasi seperti Ibu Aiman, pemimpin yang berpikir jauh ke depan
seperti Drs. Colla Gaul, atau pembina yang setia mendampingi generasi muda
seperti Yunus Hamid.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak
ditulis oleh orang-orang yang hanya mengenang masa lalu. Sejarah ditulis oleh
mereka yang mengambil inspirasi dari masa lalu dan menggunakannya untuk
menciptakan masa depan yang lebih baik.
Terima kasih, Ibu Aiman Yunus, Drs.
Colla Gauk, dan Yunus Hamid. Perjuangan kalian tidak akan sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar