Pernahkah Anda
merasa terjebak di suatu tempat yang bukan pilihan hati? Seperti bangun di pagi
hari dan bertanya, Kenapa saya ada di sini? Itulah yang saya rasakan
saat pertama kali memasuki dunia agronomi di Universitas Tadulako pada tahun
2005.
Saya bukan
anak IPA di SMA. Saya berasal dari jurusan IPS, akrab dengan ilmu sosial,
sejarah, dan ekonomi. Namun, entah bagaimana, takdir membawa saya ke program
studi Agronomi, yang dipenuhi dengan matematika, fisika, kimia, dan
biologi—mata pelajaran yang dulu saya anggap sebagai "musuh
bebuyutan."
Dunia
pertanian? Jujur, saya bahkan tidak punya bayangan akan menjadi seorang ahli
tanaman atau ilmuwan di laboratorium. Namun, di sinilah saya, duduk di bangku
kuliah, mencoba memahami istilah-istilah ilmiah yang terdengar seperti bahasa
asing. Setiap kuliah terasa seperti berada di planet yang salah.
Saya ingin
berhenti. Ingin menyerah. Tapi hidup tidak selalu memberi kita pilihan yang
nyaman.
Antara Bertahan dan Menyerah
Setiap
semester, saya menghadapi dilema: terus maju atau menyerah?
Bayangkan
harus menghafal reaksi kimia tanah, menghitung rumus genetika tanaman, atau
memahami mekanisme fotosintesis, padahal saya lebih suka membaca analisis
sosial atau menulis opini tentang ekonomi politik. Tidak jarang saya
bertanya-tanya, Apakah saya benar-benar harus menjalani ini?
Di titik-titik
terendah, saya melihat teman-teman saya yang dengan penuh semangat
mendiskusikan metode pertanian modern, budidaya tanaman, atau teknik pengolahan
lahan. Mereka tampak seperti ikan yang berenang di air, sedangkan saya? Saya
merasa seperti burung yang dilempar ke lautan, berusaha bertahan dari ombak.
Namun, saya
tidak ingin mengecewakan orang tua. Saya tidak ingin gagal begitu saja. Jika
saya sudah masuk ke jalan ini, setidaknya saya harus menyelesaikannya.
Belajar untuk Bertahan
Saya mulai
mengubah pola pikir saya. Jika saya tidak bisa menikmati bidang ini, setidaknya
saya bisa belajar bagaimana menjalaninya dengan lebih baik. Saya mengembangkan
cara belajar yang lebih strategis—mendekati teman-teman yang lebih paham untuk
berdiskusi, mencari sumber belajar yang lebih mudah dipahami, dan yang paling
penting, mencoba menemukan makna di balik semua ini.
Seiring waktu,
saya menyadari bahwa bertahan dalam sesuatu yang tidak kita sukai bukan hanya
soal akademik, tetapi juga tentang mental dan karakter. Saya belajar bahwa
perjuangan bukan hanya tentang kecerdasan, tetapi tentang daya tahan.
Dan perlahan,
sesuatu berubah. Saya mulai melihat sisi lain dari perjalanan ini. Ada
teman-teman yang membantu, ada dosen yang mendukung, ada pengalaman lapangan
yang membuka mata saya tentang bagaimana pertanian begitu penting bagi
kehidupan manusia. Saya mulai memahami bahwa ilmu yang saya pelajari, meskipun
bukan minat utama saya, memiliki peran besar dalam ketahanan pangan dan
kesejahteraan masyarakat.
Saya masih
merasa bahwa saya berada di tempat yang salah, tetapi saya mulai menemukan cara
untuk membuatnya bermakna.
Garis Akhir: Sebuah Pencapaian
Setelah 6,5
tahun, akhirnya saya menyelesaikan kuliah. Bukan dengan mudah, bukan dengan
penuh semangat, tetapi dengan ketahanan yang terus diuji.
Saat
mengenakan toga di hari wisuda, saya tidak hanya melihat sebuah gelar, tetapi
melihat perjalanan yang telah mengubah saya. Saya bukan lagi mahasiswa yang
merasa tersesat. Saya adalah seseorang yang telah belajar bagaimana menghadapi
tantangan, bagaimana bertahan di kondisi yang tidak ideal, dan bagaimana
menemukan arti dalam sesuatu yang awalnya tidak saya pilih.
Apakah saya
akhirnya mencintai agronomi? Tidak sepenuhnya.
Apakah saya
menyesal telah menjalani ini? Tidak juga.
Karena di
balik perjalanan ini, saya menemukan sesuatu yang lebih penting daripada
sekadar ilmu pertanian—saya menemukan ketahanan diri, kesabaran, dan keberanian
untuk menghadapi apa pun yang datang di masa depan.
Hidup tidak
selalu memberi kita pilihan yang kita inginkan, tetapi itu bukan berarti jalan
yang kita tempuh tidak berharga. Mungkin saya tidak memilih agronomi, tetapi
agronomi telah mengajarkan saya sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilmu—ia
mengajarkan saya bagaimana bertahan, bagaimana beradaptasi, dan bagaimana terus
maju meskipun jalan terasa berat.
Jadi, jika
Anda pernah merasa berada di tempat yang salah, jangan terburu-buru menyerah.
Terkadang, perjalanan yang paling tidak kita inginkan justru yang paling banyak
memberi pelajaran berharga.
Bagaimana dengan Anda?
Pernahkah Anda merasa salah jurusan atau salah memilih jalan? Apa yang Anda
pelajari dari perjalanan itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar