Kamis, 27 Februari 2025

6,5 Tahun di Agronomi: Dari Salah Jurusan Hingga Garis Akhir

 


Pernahkah Anda merasa terjebak di suatu tempat yang bukan pilihan hati? Seperti bangun di pagi hari dan bertanya, Kenapa saya ada di sini? Itulah yang saya rasakan saat pertama kali memasuki dunia agronomi di Universitas Tadulako pada tahun 2005.

Saya bukan anak IPA di SMA. Saya berasal dari jurusan IPS, akrab dengan ilmu sosial, sejarah, dan ekonomi. Namun, entah bagaimana, takdir membawa saya ke program studi Agronomi, yang dipenuhi dengan matematika, fisika, kimia, dan biologi—mata pelajaran yang dulu saya anggap sebagai "musuh bebuyutan."

Dunia pertanian? Jujur, saya bahkan tidak punya bayangan akan menjadi seorang ahli tanaman atau ilmuwan di laboratorium. Namun, di sinilah saya, duduk di bangku kuliah, mencoba memahami istilah-istilah ilmiah yang terdengar seperti bahasa asing. Setiap kuliah terasa seperti berada di planet yang salah.

Saya ingin berhenti. Ingin menyerah. Tapi hidup tidak selalu memberi kita pilihan yang nyaman.

Antara Bertahan dan Menyerah

Setiap semester, saya menghadapi dilema: terus maju atau menyerah?

Bayangkan harus menghafal reaksi kimia tanah, menghitung rumus genetika tanaman, atau memahami mekanisme fotosintesis, padahal saya lebih suka membaca analisis sosial atau menulis opini tentang ekonomi politik. Tidak jarang saya bertanya-tanya, Apakah saya benar-benar harus menjalani ini?

Di titik-titik terendah, saya melihat teman-teman saya yang dengan penuh semangat mendiskusikan metode pertanian modern, budidaya tanaman, atau teknik pengolahan lahan. Mereka tampak seperti ikan yang berenang di air, sedangkan saya? Saya merasa seperti burung yang dilempar ke lautan, berusaha bertahan dari ombak.

Namun, saya tidak ingin mengecewakan orang tua. Saya tidak ingin gagal begitu saja. Jika saya sudah masuk ke jalan ini, setidaknya saya harus menyelesaikannya.

Belajar untuk Bertahan

Saya mulai mengubah pola pikir saya. Jika saya tidak bisa menikmati bidang ini, setidaknya saya bisa belajar bagaimana menjalaninya dengan lebih baik. Saya mengembangkan cara belajar yang lebih strategis—mendekati teman-teman yang lebih paham untuk berdiskusi, mencari sumber belajar yang lebih mudah dipahami, dan yang paling penting, mencoba menemukan makna di balik semua ini.

Seiring waktu, saya menyadari bahwa bertahan dalam sesuatu yang tidak kita sukai bukan hanya soal akademik, tetapi juga tentang mental dan karakter. Saya belajar bahwa perjuangan bukan hanya tentang kecerdasan, tetapi tentang daya tahan.

Dan perlahan, sesuatu berubah. Saya mulai melihat sisi lain dari perjalanan ini. Ada teman-teman yang membantu, ada dosen yang mendukung, ada pengalaman lapangan yang membuka mata saya tentang bagaimana pertanian begitu penting bagi kehidupan manusia. Saya mulai memahami bahwa ilmu yang saya pelajari, meskipun bukan minat utama saya, memiliki peran besar dalam ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Saya masih merasa bahwa saya berada di tempat yang salah, tetapi saya mulai menemukan cara untuk membuatnya bermakna.

Garis Akhir: Sebuah Pencapaian

Setelah 6,5 tahun, akhirnya saya menyelesaikan kuliah. Bukan dengan mudah, bukan dengan penuh semangat, tetapi dengan ketahanan yang terus diuji.

Saat mengenakan toga di hari wisuda, saya tidak hanya melihat sebuah gelar, tetapi melihat perjalanan yang telah mengubah saya. Saya bukan lagi mahasiswa yang merasa tersesat. Saya adalah seseorang yang telah belajar bagaimana menghadapi tantangan, bagaimana bertahan di kondisi yang tidak ideal, dan bagaimana menemukan arti dalam sesuatu yang awalnya tidak saya pilih.

Apakah saya akhirnya mencintai agronomi? Tidak sepenuhnya.

Apakah saya menyesal telah menjalani ini? Tidak juga.

Karena di balik perjalanan ini, saya menemukan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar ilmu pertanian—saya menemukan ketahanan diri, kesabaran, dan keberanian untuk menghadapi apa pun yang datang di masa depan.

Hidup tidak selalu memberi kita pilihan yang kita inginkan, tetapi itu bukan berarti jalan yang kita tempuh tidak berharga. Mungkin saya tidak memilih agronomi, tetapi agronomi telah mengajarkan saya sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilmu—ia mengajarkan saya bagaimana bertahan, bagaimana beradaptasi, dan bagaimana terus maju meskipun jalan terasa berat.

Jadi, jika Anda pernah merasa berada di tempat yang salah, jangan terburu-buru menyerah. Terkadang, perjalanan yang paling tidak kita inginkan justru yang paling banyak memberi pelajaran berharga.

 

Bagaimana dengan Anda? Pernahkah Anda merasa salah jurusan atau salah memilih jalan? Apa yang Anda pelajari dari perjalanan itu?

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Pandemi Jadi Momentum: Menyatukan Ilmu, Budaya, dan Spiritualitas Lewat Webinar

  Pandemi COVID-19 datang tanpa aba-aba. Mengubah wajah dunia dalam waktu singkat. Membatasi ruang gerak manusia, membekukan banyak aktivita...