Sejarah telah membuktikan bahwa
mahasiswa bukan sekadar pencari ilmu di ruang kelas, tetapi juga agen perubahan
yang memainkan peran penting dalam perjalanan bangsa. Dari gerakan Budi Utomo,
perjuangan mahasiswa 1966, hingga Reformasi 1998, suara mahasiswa selalu
menggema dalam setiap babak krusial negeri ini. Namun, pertanyaan yang selalu
relevan adalah: Apakah peran mahasiswa dalam politik dan perjuangan sosial
masih relevan di era sekarang?
Saya percaya bahwa jawabannya masih
dan selalu relevan. Pengalaman saya selama menjadi aktivis di BEM
Universitas Tadulako mengajarkan bahwa kesadaran politik bukanlah sesuatu yang
muncul secara instan. Ia tumbuh melalui diskusi panjang, pengalaman lapangan,
dan keberanian untuk mengambil sikap. Saya menyadari bahwa tanpa pemahaman yang
mendalam tentang persoalan bangsa, mahasiswa hanya akan menjadi massa yang
pasif dan mudah terombang-ambing dalam arus politik praktis.
Dua momen yang paling membekas
dalam perjalanan aktivisme saya adalah saat menginisiasi dan menjadi ketua
panitia Debat Kandidat Calon Wali Kota Palu tahun 2010, serta memimpin
demonstrasi 2000 mahasiswa pada Hari Anti Korupsi tahun 2009 di depan kantor
DPRD Sulawesi Tengah. Dua peristiwa ini, meskipun terjadi di ranah yang
berbeda—satu berbentuk dialog intelektual, satunya lagi perlawanan di
jalanan—menunjukkan bagaimana mahasiswa bisa berperan dalam dua dimensi: memproduksi
gagasan dan melawan ketidakadilan secara langsung.
Melalui tulisan ini, saya ingin
berbagi pengalaman serta mengajak pembaca, terutama mahasiswa, untuk
mempertanyakan kembali peran mereka dalam perubahan sosial. Apakah kita masih
memiliki keberanian untuk bersuara? Apakah kita masih percaya bahwa kampus bisa
menjadi pusat perubahan? Ataukah kita justru mulai merasa nyaman dalam diam?
Menghidupkan
Dialog di Kampus: Debat Kandidat Wali Kota Palu 2010
Kampus seharusnya menjadi tempat
lahirnya gagasan dan kritik sosial, bukan sekadar pabrik pencetak sarjana.
Namun, pada kenyataannya, minat mahasiswa terhadap politik sering kali minim.
Banyak yang merasa bahwa politik hanya urusan para elite, jauh dari realitas
mereka.
Saat itu, saya dan beberapa rekan
di BEM Universitas Tadulako melihat kondisi ini sebagai tantangan. Kami
bertanya: Bagaimana caranya membuat mahasiswa lebih peduli terhadap politik
lokal? Salah satu jawabannya adalah dengan menghadirkan langsung para
pengambil kebijakan ke hadapan mereka. Maka, lahirlah ide untuk
menyelenggarakan Debat Kandidat Calon Wali Kota Palu 2010—sebuah forum
yang bukan hanya menjadi ajang adu gagasan bagi para kandidat, tetapi juga
untuk membuktikan bahwa mahasiswa bisa menjadi bagian dari demokrasi yang
sehat.
Sebagai ketua panitia, saya
mengawal persiapan acara ini dari nol. Dari menentukan format debat, mengundang
kandidat, menyusun pertanyaan berbobot, hingga memastikan acara berjalan lancar
tanpa kendala. Kami ingin debat ini tidak hanya menjadi tontonan biasa, tetapi
benar-benar menjadi ajang yang menguji kapasitas para calon pemimpin.
Hari itu, aula kampus penuh sesak.
Mahasiswa, dosen, jurnalis, dan berbagai elemen masyarakat datang untuk
menyaksikan debat. Ketika moderator mulai melontarkan pertanyaan kritis
mengenai tata kelola kota, salah satu kandidat terlihat gugup. Ia mencoba menghindari
pertanyaan dengan jawaban yang berputar-putar. Namun, di hadapan mahasiswa yang
terlatih untuk berpikir kritis, jawaban seperti itu justru memicu reaksi. Ada
tawa kecil, ada yang berbisik-bisik, dan ada pula yang langsung melontarkan
interupsi.
Momen itulah yang membuat saya
semakin yakin bahwa politik harus dibawa ke tengah mahasiswa, bukan hanya
dalam wacana akademik, tetapi dalam bentuk partisipasi nyata. Dari forum
ini, banyak mahasiswa yang sebelumnya apatis mulai menunjukkan ketertarikan
pada politik. Mereka bertanya, berdiskusi, dan bahkan ada yang mulai berpikir
untuk aktif dalam organisasi kepemudaan.
Dari
Dialog ke Aksi: Demonstrasi 2000 Mahasiswa di Hari Anti Korupsi 2009
Jika debat politik adalah wujud
demokrasi intelektual, maka demonstrasi adalah ekspresi langsung dari
perlawanan terhadap ketidakadilan. Pada Hari Anti Korupsi 9 Desember 2009,
kemarahan mahasiswa terhadap praktik korupsi yang merajalela di daerah kami
mencapai puncaknya. Kami sadar bahwa korupsi bukan hanya sekadar berita di
media, tetapi sesuatu yang merugikan rakyat secara nyata.
Aksi ini tidak dilakukan secara
spontan. Kami merancangnya dengan matang. Dari konsolidasi internal, menyusun
tuntutan, hingga menentukan strategi agar suara kami benar-benar didengar. Kami
ingin aksi ini lebih dari sekadar orasi di jalanan. Kami ingin ada dampak yang
nyata.
Hari itu, ribuan mahasiswa bergerak
dari kampus menuju kantor DPRD Sulawesi Tengah. Saya masih ingat bagaimana
barisan panjang mahasiswa memenuhi jalan, membawa spanduk, poster, dan
meneriakkan tuntutan. Suasana di depan kantor DPRD begitu tegang. Beberapa
anggota dewan berusaha menghindari pertemuan dengan mahasiswa, sementara aparat
keamanan mulai bersiaga. Namun, kami tidak mundur. Kami terus berorasi,
menyuarakan keresahan rakyat. “Turunkan pejabat korup! Transparansi anggaran
daerah! Mahasiswa tidak diam!” Teriakan itu menggema di seluruh halaman
kantor DPRD.
Saat akhirnya beberapa anggota DPRD
keluar untuk berdialog, kami menyampaikan tuntutan kami dengan tegas. Kami
meminta mereka menandatangani komitmen transparansi anggaran dan mendukung
pemberantasan korupsi. Beberapa dari mereka berusaha menghindar, tetapi di
hadapan ribuan mahasiswa, mereka tidak punya pilihan selain merespons.
Refleksi:
Dari Kampus ke Jalan, Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Dua pengalaman ini mengajarkan saya
bahwa kesadaran politik tidak bisa hanya lahir dari buku teks atau ruang
kelas. Ia harus dibangun melalui pengalaman langsung, melalui dialog yang
hidup, dan melalui aksi nyata.
Saya sering bertanya-tanya: Apakah
mahasiswa hari ini masih memiliki semangat perjuangan yang sama? Di era
media sosial, suara lebih mudah disampaikan, tetapi apakah aksi nyata masih
dilakukan? Apakah kita masih berani turun ke jalan jika keadaan menuntut?
Tantangan hari ini mungkin berbeda,
tetapi esensinya tetap sama. Ketidakadilan masih ada, korupsi masih merajalela,
dan demokrasi masih membutuhkan suara kritis. Peran mahasiswa tidak boleh
berhenti. Kampus harus tetap menjadi pusat intelektual dan perlawanan sosial.
Saya menutup tulisan ini dengan
sebuah pertanyaan kepada pembaca, terutama mahasiswa: Di mana posisi kita
dalam sejarah? Apakah kita hanya akan menjadi penonton, atau akan menjadi
bagian dari mereka yang berani bersuara dan bertindak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar