Selasa, 25 Maret 2025

Dari Kampus ke Jalan: Membangun Kesadaran Politik dan Perlawanan terhadap Korupsi

 


Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa bukan sekadar pencari ilmu di ruang kelas, tetapi juga agen perubahan yang memainkan peran penting dalam perjalanan bangsa. Dari gerakan Budi Utomo, perjuangan mahasiswa 1966, hingga Reformasi 1998, suara mahasiswa selalu menggema dalam setiap babak krusial negeri ini. Namun, pertanyaan yang selalu relevan adalah: Apakah peran mahasiswa dalam politik dan perjuangan sosial masih relevan di era sekarang?

Saya percaya bahwa jawabannya masih dan selalu relevan. Pengalaman saya selama menjadi aktivis di BEM Universitas Tadulako mengajarkan bahwa kesadaran politik bukanlah sesuatu yang muncul secara instan. Ia tumbuh melalui diskusi panjang, pengalaman lapangan, dan keberanian untuk mengambil sikap. Saya menyadari bahwa tanpa pemahaman yang mendalam tentang persoalan bangsa, mahasiswa hanya akan menjadi massa yang pasif dan mudah terombang-ambing dalam arus politik praktis.

Dua momen yang paling membekas dalam perjalanan aktivisme saya adalah saat menginisiasi dan menjadi ketua panitia Debat Kandidat Calon Wali Kota Palu tahun 2010, serta memimpin demonstrasi 2000 mahasiswa pada Hari Anti Korupsi tahun 2009 di depan kantor DPRD Sulawesi Tengah. Dua peristiwa ini, meskipun terjadi di ranah yang berbeda—satu berbentuk dialog intelektual, satunya lagi perlawanan di jalanan—menunjukkan bagaimana mahasiswa bisa berperan dalam dua dimensi: memproduksi gagasan dan melawan ketidakadilan secara langsung.

Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman serta mengajak pembaca, terutama mahasiswa, untuk mempertanyakan kembali peran mereka dalam perubahan sosial. Apakah kita masih memiliki keberanian untuk bersuara? Apakah kita masih percaya bahwa kampus bisa menjadi pusat perubahan? Ataukah kita justru mulai merasa nyaman dalam diam?

Menghidupkan Dialog di Kampus: Debat Kandidat Wali Kota Palu 2010

Kampus seharusnya menjadi tempat lahirnya gagasan dan kritik sosial, bukan sekadar pabrik pencetak sarjana. Namun, pada kenyataannya, minat mahasiswa terhadap politik sering kali minim. Banyak yang merasa bahwa politik hanya urusan para elite, jauh dari realitas mereka.

Saat itu, saya dan beberapa rekan di BEM Universitas Tadulako melihat kondisi ini sebagai tantangan. Kami bertanya: Bagaimana caranya membuat mahasiswa lebih peduli terhadap politik lokal? Salah satu jawabannya adalah dengan menghadirkan langsung para pengambil kebijakan ke hadapan mereka. Maka, lahirlah ide untuk menyelenggarakan Debat Kandidat Calon Wali Kota Palu 2010—sebuah forum yang bukan hanya menjadi ajang adu gagasan bagi para kandidat, tetapi juga untuk membuktikan bahwa mahasiswa bisa menjadi bagian dari demokrasi yang sehat.

Sebagai ketua panitia, saya mengawal persiapan acara ini dari nol. Dari menentukan format debat, mengundang kandidat, menyusun pertanyaan berbobot, hingga memastikan acara berjalan lancar tanpa kendala. Kami ingin debat ini tidak hanya menjadi tontonan biasa, tetapi benar-benar menjadi ajang yang menguji kapasitas para calon pemimpin.

Hari itu, aula kampus penuh sesak. Mahasiswa, dosen, jurnalis, dan berbagai elemen masyarakat datang untuk menyaksikan debat. Ketika moderator mulai melontarkan pertanyaan kritis mengenai tata kelola kota, salah satu kandidat terlihat gugup. Ia mencoba menghindari pertanyaan dengan jawaban yang berputar-putar. Namun, di hadapan mahasiswa yang terlatih untuk berpikir kritis, jawaban seperti itu justru memicu reaksi. Ada tawa kecil, ada yang berbisik-bisik, dan ada pula yang langsung melontarkan interupsi.

Momen itulah yang membuat saya semakin yakin bahwa politik harus dibawa ke tengah mahasiswa, bukan hanya dalam wacana akademik, tetapi dalam bentuk partisipasi nyata. Dari forum ini, banyak mahasiswa yang sebelumnya apatis mulai menunjukkan ketertarikan pada politik. Mereka bertanya, berdiskusi, dan bahkan ada yang mulai berpikir untuk aktif dalam organisasi kepemudaan.

Dari Dialog ke Aksi: Demonstrasi 2000 Mahasiswa di Hari Anti Korupsi 2009

Jika debat politik adalah wujud demokrasi intelektual, maka demonstrasi adalah ekspresi langsung dari perlawanan terhadap ketidakadilan. Pada Hari Anti Korupsi 9 Desember 2009, kemarahan mahasiswa terhadap praktik korupsi yang merajalela di daerah kami mencapai puncaknya. Kami sadar bahwa korupsi bukan hanya sekadar berita di media, tetapi sesuatu yang merugikan rakyat secara nyata.

Aksi ini tidak dilakukan secara spontan. Kami merancangnya dengan matang. Dari konsolidasi internal, menyusun tuntutan, hingga menentukan strategi agar suara kami benar-benar didengar. Kami ingin aksi ini lebih dari sekadar orasi di jalanan. Kami ingin ada dampak yang nyata.

Hari itu, ribuan mahasiswa bergerak dari kampus menuju kantor DPRD Sulawesi Tengah. Saya masih ingat bagaimana barisan panjang mahasiswa memenuhi jalan, membawa spanduk, poster, dan meneriakkan tuntutan. Suasana di depan kantor DPRD begitu tegang. Beberapa anggota dewan berusaha menghindari pertemuan dengan mahasiswa, sementara aparat keamanan mulai bersiaga. Namun, kami tidak mundur. Kami terus berorasi, menyuarakan keresahan rakyat. “Turunkan pejabat korup! Transparansi anggaran daerah! Mahasiswa tidak diam!” Teriakan itu menggema di seluruh halaman kantor DPRD.

Saat akhirnya beberapa anggota DPRD keluar untuk berdialog, kami menyampaikan tuntutan kami dengan tegas. Kami meminta mereka menandatangani komitmen transparansi anggaran dan mendukung pemberantasan korupsi. Beberapa dari mereka berusaha menghindar, tetapi di hadapan ribuan mahasiswa, mereka tidak punya pilihan selain merespons.

Refleksi: Dari Kampus ke Jalan, Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Dua pengalaman ini mengajarkan saya bahwa kesadaran politik tidak bisa hanya lahir dari buku teks atau ruang kelas. Ia harus dibangun melalui pengalaman langsung, melalui dialog yang hidup, dan melalui aksi nyata.

Saya sering bertanya-tanya: Apakah mahasiswa hari ini masih memiliki semangat perjuangan yang sama? Di era media sosial, suara lebih mudah disampaikan, tetapi apakah aksi nyata masih dilakukan? Apakah kita masih berani turun ke jalan jika keadaan menuntut?

Tantangan hari ini mungkin berbeda, tetapi esensinya tetap sama. Ketidakadilan masih ada, korupsi masih merajalela, dan demokrasi masih membutuhkan suara kritis. Peran mahasiswa tidak boleh berhenti. Kampus harus tetap menjadi pusat intelektual dan perlawanan sosial.

Saya menutup tulisan ini dengan sebuah pertanyaan kepada pembaca, terutama mahasiswa: Di mana posisi kita dalam sejarah? Apakah kita hanya akan menjadi penonton, atau akan menjadi bagian dari mereka yang berani bersuara dan bertindak?

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Pandemi Jadi Momentum: Menyatukan Ilmu, Budaya, dan Spiritualitas Lewat Webinar

  Pandemi COVID-19 datang tanpa aba-aba. Mengubah wajah dunia dalam waktu singkat. Membatasi ruang gerak manusia, membekukan banyak aktivita...