Pernahkah kamu
mengalami momen ketika sebuah keputusan kecil membawa dampak besar dalam
hidupmu? Aku mengalaminya.
Saat itu, aku
hanyalah seorang siswa SMA biasa yang menjalani hari-hari tanpa banyak berpikir
tentang hal besar. Sekolah, pulang, mengerjakan tugas, bermain, lalu tidur.
Begitu terus, seperti putaran waktu yang monoton. Hingga suatu hari, seorang senior
datang kepadaku di kantin sekolah. Dengan senyum ramah, ia bertanya, "Pernah
dengar tentang PII?"
Aku menggeleng.
Ia lalu bercerita
tentang Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi kepemudaan yang
katanya bukan sekadar tempat ngumpul biasa. Di sana, katanya, kita akan belajar
banyak hal—tentang kepemimpinan, pemikiran Islam, dan peran pemuda dalam perubahan
sosial.
Aku ragu, tetapi
entah mengapa, ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku tertarik. Akhirnya,
aku memutuskan untuk datang ke kajian yang mereka adakan di mushola sekolah sore
itu.
Aku tidak menyangka,
langkah kecil itu akan mengubah banyak hal dalam hidupku.
Dinamika di Komisariat PII:
Menemukan Makna dalam Perjuangan
Sejak pertemuan
pertama itu, aku mulai aktif di PII. Aku ikut Pra Basic Training (Pra
Batra), kegiatan pengenalan sebelum pelatihan inti. Semakin dalam aku terlibat,
semakin aku sadar bahwa organisasi ini bukan sekadar kumpulan anak muda yang ingin
terlihat religius.
Kami berdiskusi
tentang sejarah Islam, membahas pemikiran tokoh-tokoh besar, dan belajar bagaimana
menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Aku mulai terbiasa dengan rapat panjang,
dengan perdebatan yang sengit, dengan tugas-tugas organisasi yang kadang melelahkan
tetapi selalu membawa semangat baru.
Dan di antara semua
itu, ada satu hal yang selalu menarik perhatianku.
Dia.
Seorang gadis dengan
jilbab panjang, duduk di antara para peserta dengan wajah tenang. Ia tidak banyak
bicara, tetapi setiap kali berbicara, kata-katanya tegas, penuh keyakinan. Bukan
suaranya yang menarik, bukan pula wajahnya—tapi caranya berpikir, caranya membawa
diri, caranya memandang sesuatu dengan keteguhan yang tidak biasa.
Aku mulai menyadari
sesuatu.
Bahwa dalam perjuangan
ini, bukan hanya ilmu yang kutemukan. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tumbuh
pelan-pelan, seperti benih kecil yang disiram setiap kali aku melihatnya berbicara
dengan semangat.
Melangkah ke Pengurus Daerah:
Amanah yang Lebih Besar
Ketika naik ke
kelas 2, aku diberikan amanah di Pengurus Daerah (PD) PII Tolitoli. Ini bukan lagi
sekadar aktivitas di sekolah, tetapi tanggung jawab yang lebih besar. Kami harus
mengelola organisasi di tingkat kabupaten, membimbing adik-adik komisariat, dan
merancang program kaderisasi agar lebih efektif.
Setiap pekan, kami
mengadakan rapat panjang. Kadang, rapat itu berjalan sampai larut malam, membahas
strategi, menyusun agenda, hingga merancang seminar besar. Tugas semakin berat,
tetapi justru di titik ini, aku semakin sering berinteraksi dengannya.
Kami berdiskusi
serius, bertukar pikiran tentang bagaimana menarik minat pelajar untuk bergabung,
bagaimana menghadapi tantangan dakwah di sekolah-sekolah, bagaimana mengelola organisasi
agar tetap hidup. Tidak ada obrolan ringan, tidak ada basa-basi, tetapi entah mengapa,
setiap diskusi dengannya terasa berbeda.
Kami memiliki semangat
yang sama.
Kami memiliki impian
yang sama.
Kami berjalan di
jalan yang sama.
Tanpa kusadari,
dalam perjuangan ini, aku tidak hanya menemukan makna hidup, tetapi juga menemukan
seseorang yang membuat perjuangan ini terasa lebih berarti.
Cinta dalam Perjuangan: Lebih
dari Sekadar Perasaan
Dari semua yang
aku pelajari di PII, aku menyadari satu hal penting.
Bahwa cinta sejati
bukan hanya tentang rasa yang membuat hati berdebar.
Bukan hanya tentang rindu yang tak tersampaikan atau kata-kata manis yang diucapkan
dalam diam.
Cinta sejati adalah
tentang perjalanan bersama dalam perjuangan.
Cinta adalah ketika
aku melihatnya berdiri di tengah forum, berbicara tentang visi dakwah, dan aku semakin
ingin berjuang pula.
Cinta adalah ketika
kami bisa berbicara tentang impian dan cita-cita, bukan hanya tentang perasaan dan
kerinduan.
Cinta adalah ketika
aku tahu bahwa rasa ini bukan untuk menghambat, tetapi justru untuk menguatkan.
Aku tidak tahu
bagaimana kisah ini akan berakhir. Mungkin kami akan tetap berjalan di jalan ini sebagai teman seperjuangan. Mungkin suatu hari nanti, takdir akan mempertemukan kami dalam kisah yang lebih
indah.
Tapi satu hal yang
aku tahu dengan pasti, aku bersyukur pernah mengenalnya dalam perjalanan ini.
Karena di antara
diskusi, rapat, dan dinamika organisasi, aku menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar
pengalaman.
Aku menemukan sepotong
cinta dalam perjuangan—sebuah kisah yang akan selalu kusimpan, bukan hanya dalam
ingatan, tetapi juga dalam hati
Dan kamu?
Pernahkah kamu
merasakan cinta yang lahir dalam perjuangan? Cinta yang tidak menghambat, tetapi
justru menguatkan? Jika iya, mungkin kita pernah berjalan di jalan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar