Senin, 10 Maret 2025

Romansa dalam Perjuangan: Aku, Kamu, Jilbab, dan Sepotong Cinta


Pernahkah kamu mengalami momen ketika sebuah keputusan kecil membawa dampak besar dalam hidupmu? Aku mengalaminya.

Saat itu, aku hanyalah seorang siswa SMA biasa yang menjalani hari-hari tanpa banyak berpikir tentang hal besar. Sekolah, pulang, mengerjakan tugas, bermain, lalu tidur. Begitu terus, seperti putaran waktu yang monoton. Hingga suatu hari, seorang senior datang kepadaku di kantin sekolah. Dengan senyum ramah, ia bertanya, "Pernah dengar tentang PII?"

Aku menggeleng.

Ia lalu bercerita tentang Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi kepemudaan yang katanya bukan sekadar tempat ngumpul biasa. Di sana, katanya, kita akan belajar banyak hal—tentang kepemimpinan, pemikiran Islam, dan peran pemuda dalam perubahan sosial.

Aku ragu, tetapi entah mengapa, ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku tertarik. Akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke kajian yang mereka adakan di mushola sekolah sore itu.

Aku tidak menyangka, langkah kecil itu akan mengubah banyak hal dalam hidupku.

Dinamika di Komisariat PII: Menemukan Makna dalam Perjuangan

Sejak pertemuan pertama itu, aku mulai aktif di PII. Aku ikut Pra Basic Training (Pra Batra), kegiatan pengenalan sebelum pelatihan inti. Semakin dalam aku terlibat, semakin aku sadar bahwa organisasi ini bukan sekadar kumpulan anak muda yang ingin terlihat religius.

Kami berdiskusi tentang sejarah Islam, membahas pemikiran tokoh-tokoh besar, dan belajar bagaimana menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Aku mulai terbiasa dengan rapat panjang, dengan perdebatan yang sengit, dengan tugas-tugas organisasi yang kadang melelahkan tetapi selalu membawa semangat baru.

Dan di antara semua itu, ada satu hal yang selalu menarik perhatianku.

Dia.

Seorang gadis dengan jilbab panjang, duduk di antara para peserta dengan wajah tenang. Ia tidak banyak bicara, tetapi setiap kali berbicara, kata-katanya tegas, penuh keyakinan. Bukan suaranya yang menarik, bukan pula wajahnya—tapi caranya berpikir, caranya membawa diri, caranya memandang sesuatu dengan keteguhan yang tidak biasa.

Aku mulai menyadari sesuatu.

Bahwa dalam perjuangan ini, bukan hanya ilmu yang kutemukan. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tumbuh pelan-pelan, seperti benih kecil yang disiram setiap kali aku melihatnya berbicara dengan semangat.

Melangkah ke Pengurus Daerah: Amanah yang Lebih Besar

Ketika naik ke kelas 2, aku diberikan amanah di Pengurus Daerah (PD) PII Tolitoli. Ini bukan lagi sekadar aktivitas di sekolah, tetapi tanggung jawab yang lebih besar. Kami harus mengelola organisasi di tingkat kabupaten, membimbing adik-adik komisariat, dan merancang program kaderisasi agar lebih efektif.

Setiap pekan, kami mengadakan rapat panjang. Kadang, rapat itu berjalan sampai larut malam, membahas strategi, menyusun agenda, hingga merancang seminar besar. Tugas semakin berat, tetapi justru di titik ini, aku semakin sering berinteraksi dengannya.

Kami berdiskusi serius, bertukar pikiran tentang bagaimana menarik minat pelajar untuk bergabung, bagaimana menghadapi tantangan dakwah di sekolah-sekolah, bagaimana mengelola organisasi agar tetap hidup. Tidak ada obrolan ringan, tidak ada basa-basi, tetapi entah mengapa, setiap diskusi dengannya terasa berbeda.

Kami memiliki semangat yang sama.

Kami memiliki impian yang sama.

Kami berjalan di jalan yang sama.

Tanpa kusadari, dalam perjuangan ini, aku tidak hanya menemukan makna hidup, tetapi juga menemukan seseorang yang membuat perjuangan ini terasa lebih berarti.

Cinta dalam Perjuangan: Lebih dari Sekadar Perasaan

Dari semua yang aku pelajari di PII, aku menyadari satu hal penting.

Bahwa cinta sejati bukan hanya tentang rasa yang membuat hati berdebar.
Bukan hanya tentang rindu yang tak tersampaikan atau kata-kata manis yang diucapkan dalam diam.

Cinta sejati adalah tentang perjalanan bersama dalam perjuangan.

Cinta adalah ketika aku melihatnya berdiri di tengah forum, berbicara tentang visi dakwah, dan aku semakin ingin berjuang pula.

Cinta adalah ketika kami bisa berbicara tentang impian dan cita-cita, bukan hanya tentang perasaan dan kerinduan.

Cinta adalah ketika aku tahu bahwa rasa ini bukan untuk menghambat, tetapi justru untuk menguatkan.

Aku tidak tahu bagaimana kisah ini akan berakhir. Mungkin kami akan tetap berjalan di jalan ini sebagai teman seperjuangan. Mungkin suatu hari nanti, takdir akan mempertemukan kami dalam kisah yang lebih indah.

Tapi satu hal yang aku tahu dengan pasti, aku bersyukur pernah mengenalnya dalam perjalanan ini.

Karena di antara diskusi, rapat, dan dinamika organisasi, aku menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar pengalaman.

Aku menemukan sepotong cinta dalam perjuangan—sebuah kisah yang akan selalu kusimpan, bukan hanya dalam ingatan, tetapi juga dalam hati

Dan kamu?

Pernahkah kamu merasakan cinta yang lahir dalam perjuangan? Cinta yang tidak menghambat, tetapi justru menguatkan? Jika iya, mungkin kita pernah berjalan di jalan yang sama.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Pandemi Jadi Momentum: Menyatukan Ilmu, Budaya, dan Spiritualitas Lewat Webinar

  Pandemi COVID-19 datang tanpa aba-aba. Mengubah wajah dunia dalam waktu singkat. Membatasi ruang gerak manusia, membekukan banyak aktivita...