Idulfitri bukan
sekadar momentum keagamaan yang dirayakan dengan gema takbir dan sajian khas
Lebaran. Lebih dari itu, ia adalah ruang spiritual dan sosial untuk
memperbaharui hubungan—baik dengan Sang Pencipta maupun dengan sesama manusia.
Di tengah kemeriahan hari kemenangan, ada tradisi yang menyimpan nilai
silaturahmi mendalam: pasiar, atau berkunjung dari rumah ke rumah
sahabat dan kerabat.
Pasiar menjadi
sarana yang sangat bermakna bagi kami, alumni SMAN 1 Tolitoli, untuk kembali
terhubung secara emosional dan spiritual. Momen Idulfitri kali ini terasa
istimewa karena memberi kesempatan langka untuk berkumpul, menyapa, dan
bertukar cerita secara langsung. Banyak dari kami telah lama merindukan
pertemuan semacam ini lepas dari sekat layar ponsel dan media sosial.
Tahun ini, kami
para alumni lintas Angkatan menjadikan Idulfitri sebagai momentum untuk kembali
menyatu. Setelah sekian lama terpisah oleh waktu, pekerjaan, dan tempat
tinggal, akhirnya kami bisa duduk bersama, menatap wajah-wajah yang dulu
menghiasi hari-hari masa remaja. Sebuah pertemuan yang tak hanya menyenangkan,
tapi juga menyentuh batin. Senyum dan tawa mengalir begitu saja, seakan waktu
tak pernah benar-benar memisahkan kami.
Pasiar yang
kami lakukan bukan sekadar kunjungan seremonial. Ia menjadi jembatan yang
menghubungkan masa lalu dengan masa kini, menghidupkan kembali tawa dan canda
yang dulu begitu akrab. Di tiap langkah, ada kerinduan yang terobati. Di setiap
pertemuan, ada kehangatan yang menyala kembali. Dan di setiap jabat tangan dan
pelukan, terselip doa yang tulus agar persahabatan ini tetap abadi.
Merangkai Kembali Kisah yang
Lama Terajut
Bertahun-tahun
telah berlalu sejak kami menapaki lorong-lorong SMAN 1 Tolitoli, mengenakan
seragam putih abu-abu, dan duduk di bangku kayu yang menyimpan sejuta cerita.
Kini, kehidupan membawa kami pada jalan yang berbeda: ada yang menjadi guru,
perawat, wirausahawan, ASN, pendamping desa, dan orang tua yang setia
mendampingi anak-anak tumbuh. Namun di balik semua peran baru itu, ada satu
benang merah yang menyatukan: kenangan bersama.
Melalui pasiar,
kenangan itu kami rangkai kembali. Setiap rumah yang kami kunjungi seperti
membuka bab lama dalam buku kehidupan yang sempat kami tutup karena kesibukan.
Cerita-cerita masa lalu yang terkubur dalam memori kini bermunculan kembali,
lengkap dengan gelak tawa dan ekspresi bahagia. Tak jarang, air mata haru pun
menetes ketika menyadari betapa dalam ikatan yang dulu terjalin, dan betapa
rindu itu tak pernah benar-benar hilang.
Setiap
percakapan menjadi cermin perjalanan hidup masing-masing. Dari cerita
perjuangan menyelesaikan kuliah, membangun keluarga, hingga menghadapi
tantangan hidup, semua mengalir dengan penuh empati dan saling pengertian. Kami
menyadari bahwa pertemuan ini bukan hanya nostalgia, tetapi juga terapi jiwa
yang menyegarkan hati dan pikiran.
Hidangan Lebaran: Simbol
Keakraban yang Menguatkan Rasa
Tak lengkap
rasanya berbicara tentang Idulfitri tanpa menyebutkan hidangan khas Lebaran.
Namun dalam pasiar ini, makanan bukan sekadar sajian perut, tapi juga hidangan
hati. Setiap rumah menyuguhkan cita rasa yang berbeda, dari opor ayam, ketupat,
rendang, kue kering, hingga es sirup dingin yang menyegarkan. Tapi yang paling
lezat dari semuanya adalah sambutan hangat dari tuan rumah dan kenangan yang
kami bawa pulang.
Makan bersama
dalam suasana kekeluargaan menghadirkan rasa syukur yang tak ternilai. Tawa
yang pecah saat menyuap kue lebaran, candaan yang menyelingi obrolan sambil
menyeruput kopi, hingga saling berebut cerita tentang masa SMA, semuanya
mempererat kebersamaan yang mungkin sudah lama tak kami rasakan. Bahkan, tak
sedikit dari kami yang merasa seolah kembali menjadi remaja, dengan hati yang
ringan dan riang.
Hidangan juga
menjadi cermin keikhlasan. Meski beberapa rumah sederhana, namun yang
disuguhkan begitu berlimpah, tidak dalam jumlah, tapi dalam ketulusan. Setiap
suapan terasa lebih nikmat karena disajikan dalam suasana yang penuh cinta dan
silaturahmi. Kami belajar bahwa makanan paling lezat adalah yang disantap
bersama sahabat lama dalam suasana kekeluargaan yang tulus.
Pasiar: Tradisi yang Menjadi
Ruang Bertumbuh
Lebaran tahun
ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tapi juga tentang melihat ke masa
depan. Kami melihat satu sama lain tumbuh bukan hanya secara usia, tapi juga
secara pemikiran, pengalaman, dan kedewasaan. Di antara obrolan ringan,
terselip harapan dan cita-cita baru, bahkan potensi kolaborasi antar alumni
dalam berbagai bidang.
Tradisi pasiar
ternyata bukan hanya memperkuat relasi sosial, tapi juga menjadi ajang saling
menginspirasi. Banyak dari kami yang terdorong untuk membangun komunitas alumni
yang lebih aktif, berkontribusi dalam kegiatan sosial, atau bahkan merancang
program bersama yang bermanfaat untuk masyarakat. Kami sadar bahwa energi yang
terbangun dari pertemuan ini jangan sampai terhenti hanya sebagai reuni sesaat.
Pasiar menjadi
ruang bertumbuh sebuah forum tak formal yang membuka hati, merangsang gagasan,
dan menumbuhkan semangat gotong royong. Kami menemukan kembali semangat masa
muda yang dulu pernah menyala di lapangan sekolah, di ruang kelas, di bawah
pohon rindang halaman depan, dan kini berpindah ke ruang tamu sederhana
teman-teman kami.
Generasi Penerus dan Harapan
yang Mengalir
Yang membuat pasiar kali ini semakin istimewa adalah kehadiran anak-anak kami yang turut serta. Mereka bermain bersama di setiap rumah, saling berkenalan tanpa sekat, dan menyaksikan secara langsung bagaimana orang tua mereka menjalin persahabatan dengan tulus dan hangat. Mereka menyerap nilai dari interaksi kami tanpa perlu kami ceramahi.
Anak-anak
adalah pewaris tradisi silaturahmi ini. Melalui pasiar, kami tak hanya
menyambung kisah lama, tapi juga membentuk jembatan baru yang menghubungkan
generasi. Kami berharap, di masa depan, anak-anak ini akan saling mengenal
lebih dekat, dan kelak membangun jejaring persahabatan seperti yang kami jalin
dahulu.
Dengan
kebersamaan lintas generasi, pasiar menjadi ajang pendidikan sosial secara
alami. Kami belajar dari satu sama lain, anak-anak belajar dari kami, dan kami
pun belajar dari mereka tentang kesederhanaan, spontanitas, dan kebahagiaan
yang tak dibuat-buat. Inilah silaturahmi dalam makna yang paling utuh.
Akhir Sebuah Hari, Awal Sebuah
Tradisi Baru
Saat senja
menjelang dan langkah kaki mulai kembali ke rumah masing-masing, ada rasa haru
yang tertinggal. Meskipun pasiar ini telah selesai, namun kehangatan dan
semangat yang kami rasakan akan terus menyala dalam hati. Kami pulang bukan
hanya membawa oleh-oleh kue kering, tapi juga kenangan yang akan terus kami
peluk dalam doa.
Kami sadar
bahwa pertemuan seperti ini perlu dijaga dan diwariskan. Ia bukan hanya
peristiwa tahunan, tapi tradisi yang hidup karena ada yang merawatnya. Maka
kami bersepakat, bahwa pasiar tak berhenti di sini. Ia akan terus hadir,
menjadi ruang temu yang bermakna bagi para alumni SMAN 1 Tolitoli di setiap
Idulfitri yang akan datang.
Lebaran kali
ini bukan sekadar perayaan tahunan. Ia adalah bab penting dalam cerita kami
sebagai alumni SMAN 1 Tolitoli. Sebuah catatan tentang hangatnya pertemuan,
manisnya persahabatan, dan indahnya silaturahmi yang terus dirawat dalam
balutan kebersamaan. Semoga Allah meridhai pertemuan ini, dan menjadikannya
bagian dari keberkahan hidup kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar